DEMOKRASINEWS, Lampung Timur — Siang itu, matahari seolah menggantung rendah di atas langit Kuala Penet. Butiran peluh keringat pekerja memantulkan cahaya, sementara angin laut membawa aroma asin yang akrab bagi warga pesisir Desa Margasari. Di tepi pantai, suara palu bertalu-talu bersahutan dengan deburan ombak,dua ritme berbeda menyatu menjadi tanda bahwa sebuah harapan tengah dibangun.
Bukan sekadar bangunan, melainkan masa depan.
Sejak pagi, para pekerja sibuk menyusun rangka dermaga, memperkuat fondasi SPBN, dan merapikan dinding kios UMKM. Mereka bekerja bukan hanya mengejar target pembangunan, tetapi juga menyelesaikan sebuah mimpi besar bagi para nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya pada laut tanpa banyak fasilitas pendukung.

Di sinilah Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) diciptakan,sebuah program transformatif yang digagas pemerintah pusat untuk mengangkat kehidupan masyarakat pesisir. Program tak hanya berbicara soal infrastruktur, tetapi tentang martabat dan kesempatan.
“Ini untuk Nelayan Kami”
“Setiap kali mendengar suara mesin perahu memecah pagi, saya selalu berpikir bagaimana caranya agar hidup para nelayan bisa sedikit lebih mudah,” tutur Wahyu Jaya, Kepala Desa Margasari, saat mendampingi tim DemokrasiNews.co.id meninjau lokasi pembangunan pada Jumat (05/12/2025).
Ia berdiri memandang para pekerja yang terus bergerak di bawah teriknya matahari. Ada binar optimisme di matanya.
“Kami sangat berterima kasih kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto dan Bapak Gubernur Lampung Rahmat Mirza Djausal. Program ini benar-benar menjawab kebutuhan warga kami. Jika selesai tahun ini, manfaatnya Insyaallah langsung dirasakan masyarakat.”
Selama bertahun-tahun, nelayan Margasari harus membeli BBM dari tempat yang jauh, menyimpan ikan dengan cara tradisional, dan menjual hasil tangkapannya tanpa fasilitas yang memadai. Banyak dari mereka berangkat melaut dengan perhitungan pas-pasan tidak selalu untuk untung, kadang hanya cukup untuk makan sehari.
Dengan adanya SPBN, gudang beku, pabrik es, dan dermaga khusus, beban mereka akan berkurang. Waktu, tenaga, dan biaya operasional dapat ditekan. Hasil tangkap pun bisa lebih terjaga kualitasnya.

Cerita dari Tepi Dermaga
Di sela suara ombak, seorang nelayan tua bernama Pak Dahlan melintas sambil membawa jaring yang sudah robek di beberapa bagian. Ia menatap pembangunan yang perlahan berdiri.
“Saya sudah melaut lebih dari 40 tahun. Baru kali ini lihat perhatian sebesar ini. Kalau nanti ada pabrik es dan gudang, kami tidak perlu buru-buru menjual ikan dengan harga murah. Hidup mungkin bisa lebih baik, Nak,” katanya dengan suara bergetar kepada tim DemokrasiNews.co.id.
Di dekatnya, beberapa anak kecil berlarian, tertawa sambil sesekali menendang pasir. Mereka mungkin belum memahami apa arti bangunan-bangunan besar yang sedang disiapkan itu. Tapi kelak, fasilitas itulah yang akan membuka peluang bagi masa depan mereka,entah menjadi nelayan modern, pelaku UMKM, atau pemuda yang hidup dari industri perikanan yang lebih maju.
Makna Merah Putih di Pesisir
Nama Merah Putih bukan sekadar simbol bendera. Bagi warga Margasari, nama itu adalah wujud kebanggaan.
Merah: keberanian para nelayan menantang gelombang.
Putih: ketulusan mereka menjaga laut yang menjadi sumber penghidupan.
Desa dengan 7.627 jiwa itu kini memikul harapan besar. Potensi perikanannya yang selama ini berjalan dengan cara sederhana perlahan diarahkan menjadi sistem ekonomi pesisir yang lebih terstruktur melalui Koperasi Merah Putih.
Koperasi inilah yang kelak akan mengelola fasilitas, memastikan manfaatnya benar-benar kembali kepada warga. Penyuluh perikanan turun langsung, pendampingan dilakukan setiap pekan, dan pelatihan diberikan agar masyarakat mampu menjalankan usaha mandiri berbasis kelautan.
Sebuah Langkah Menuju Masa Depan
Di tengah suara palu dan ombak itu, Desa Margasari sebenarnya sedang menata masa depannya sendiri. Pembangunan ini bukan hadiah semata, tetapi peluang untuk bisa berdiri sejajar dengan desa-desa maju lainnya.
“Kami ingin menjadi contoh nasional, bahkan menjadi lokasi peresmian Kampung Nelayan Merah Putih. Harapan kami, Bapak Presiden dapat hadir menyaksikan perubahan ini langsung dari desa kami,” jelas Wahyu.
Di ujung pantai, matahari mulai condong ke barat. Cahaya keemasannya menyapu bangunan-bangunan yang belum selesai—seolah memberi tanda bahwa harapan itu benar-benar nyata.
Dan di Kuala Penet, harapan itu dibangun setiap hari, satu batu demi satu batu. Untuk para nelayan. Untuk masa depan anak-anak mereka. Untuk Merah Putih yang berkibar di pesisir Lampung Timur. (Red/Prie)











