DEMOKRASINEWS, Lumajang Jawa Timur,- Hujan deras mulai turun sejak siang itu, Rabu (5/11/2025). Langit di wilayah lereng Gunung Semeru tampak pekat, seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa ditahan lagi. Di rumah-rumah sederhana Desa Gondoruso, Kecamatan Pasirian, sebagian warga masih beraktivitas seperti biasa. Namun, beberapa dari mereka yang telah berkali-kali merasakan amukan Semeru mulai memeriksa arus sungai yang membelah desa.
“Kami sudah hafal tanda-tandanya,” tutur Rudi (37), ayah dua anak yang rumahnya berada sekitar 200 meter dari bantaran. “Kalau hujan deras di atas sana, batang-batang pohon dan batu pasti ikut turun.”
Dan benar saja, sekitar pukul 14.00 WIB, suara gemuruh terdengar dari arah sungai. Awalnya seperti suara truk berat dari kejauhan. Namun semakin lama, suaranya berubah menjadi dentuman panjang, seolah batu-batu besar tengah berguling dan saling bertubrukan. Itulah tanda bahwa banjir lahar dingin dari Gunung Semeru telah turun, membawa material vulkanik yang tersimpan di puncak dan aliran lava bekas letusan.

Arus Batu dan Lumpur Mengisolasi Warga
Dalam hitungan menit, sungai berubah menjadi aliran pekat berwarna kelabu. Batu-batu besar meluncur bercampur dengan pasir dan air, menyapu ladang warga. Masyarakat di Desa Gondoruso dan Desa Bades panik. Ada yang berlari menyelamatkan ternak, ada yang hanya sempat membawa anak-anak keluar menuju jalan yang lebih tinggi.
Sebanyak 1.211 kepala keluarga terisolir.
Akses jalan utama yang menghubungkan kedua desa terputus total. Dua unit dump truk yang kebetulan berada di jalur itu terjebak, tak dapat bergerak karena tanah di bawahnya telah berubah menjadi lumpur tebal. Sementara itu, sekitar 30 hektare lahan pertanian yang selama ini menjadi sandaran hidup warga tertimbun material.
Samsuri (58), seorang petani bawang, hanya bisa memandangi ladangnya yang tertutup. “Tanah ini saya garap sejak muda. Kalau begini, entah kapan bisa mulai lagi,” ucapnya, suaranya pelan namun tegas, seolah ia sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap kuat.
Gerak Cepat di Tengah Situasi Tak Pasti
Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Kabupaten Lumajang sesegera mungkin diterjunkan ke lokasi. Mereka membantu warga menyeberang, memastikan area bantaran aman dari ancaman susulan, serta melakukan pendataan awal.
Koordinasi dilakukan dengan PUSDA Jawa Timur UPT Lumajang, Forkopimca Pasirian, dan aparat desa. Jalur komunikasi dijaga agar informasi tidak simpang siur.
Melihat situasi yang berkembang cepat, Pemerintah Kabupaten Lumajang menetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Alam Banjir dan Tanah Longsor. Status itu berlaku 5–11 November 2025, untuk mempercepat penanganan kebutuhan mendesak: pengerahan alat berat, logistik, hingga penyiapan titik pengungsian sementara.
Pada Kamis (6/11/2025), kondisi banjir perlahan surut. Namun tidak serta-merta menghapus kecemasan warga. Banyak yang masih menunggu kepastian—apakah lahar akan turun lagi, apakah ladang masih bisa diselamatkan, apakah rumah mereka masih aman untuk ditempati.
Antara Bertahan dan Berharap
Di sebuah sudut pengungsian darurat, anak-anak terlihat bermain dengan tanah lembut, seakan bencana hanyalah hujan besar biasa. Di sisi lain, orang tua mereka menghitung ulang masa depan: biaya hidup, panen yang tertunda, pendapatan yang hilang.
Namun di balik itu semua, yang paling terasa adalah kekuatan komunitas. Warga saling meminjamkan selimut, menyalakan dapur umum, saling menguatkan satu sama lain.
“Semeru sudah seperti keluarga,” kata seorang relawan yang ikut berjaga. “Kadang memberi, kadang meminta kembali. Yang bisa kita lakukan hanya berjaga dan saling menjaga.”
BNPB mengimbau masyarakat tetap waspada, karena banjir lahar dingin bukan hanya terjadi saat letusan, tetapi kapan saja ketika hujan intens turun di bagian hulu. Warga diminta tidak mendekati bantaran sungai, dan selalu memperbarui informasi dari BPBD dan PVMBG.
Peristiwa itu mengingatkan bahwa hidup di lereng gunung adalah hidup berdampingan dengan alam dengan segala kemurahan dan ketidakterdugaannya. Namun dari sana pula terlihat kekuatan manusia: saling menjaga, saling menguatkan, dan tetap memilih untuk berharap. (Red/Rls BNPB)











