DEMOKRASINEWS, Tangerang – Sengketa hukum terkait kepemilikan pabrik di Jatake, Tangerang, kembali mencuat setelah kuasa hukum Akira Takei, Ujang Wartono, S.H., M.H., melaporkan PT Paragon ke Polres Tangerang Kota pada Kamis, (13/03/2025). Laporan tersebut diajukan atas dugaan tindak pidana berupa pengrusakan, pemalsuan dokumen, pendudukan lahan tanpa izin, serta penipuan.
Menurut Ujang, tindakan PT Paragon tidak memiliki dasar hukum yang sah, mengingat Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa pabrik tersebut merupakan milik Akira Takei. “Menurut analisa saya, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap proses eksekusi ini,” ujarnya setelah menyerahkan laporan resmi. Ia juga menyertakan sejumlah bukti, termasuk surat kuasa dari Akira Takei dan dokumen resmi dari Mahkamah Agung. Berdasarkan putusan No. 3295 K/PDT/1996, pabrik tersebut seharusnya masuk dalam proses lelang guna mengembalikan kerugian yang dialami kliennya.
Namun, upaya eksekusi aset tersebut mengalami hambatan setelah muncul klaim kepemilikan dari Cristianto Noviadji Jhohan alias Cris, yang mengaku sebagai pemilik sah. Padahal, Cris sebelumnya telah kalah dalam gugatan perlawanan di Pengadilan Negeri Tangerang pada 2018, sebagaimana tercantum dalam putusan No. 341/Pdt.Plw/2017/PN.Tng. Anehnya, pada tahun 2019, PT Paragon tiba-tiba menguasai pabrik dengan dalih telah membeli aset tersebut dari Cris, meskipun Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa aset tersebut harus dilelang.
“Ini sangat janggal. Cris tidak memiliki hak legal atas aset ini, tetapi tiba-tiba menjualnya ke Paragon tanpa melalui proses hukum yang benar,” tegas Ujang.
Selain klaim kepemilikan yang meragukan, Ujang juga menyoroti dugaan pemalsuan dokumen dalam kasus ini. Salah satu bukti yang ia laporkan adalah perubahan Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) pada tahun 2019, setelah Cris dinyatakan kalah di pengadilan. “Bagaimana mungkin dari hak milik bisa berubah menjadi hak guna bangunan tanpa prosedur hukum yang jelas? Ini adalah indikasi kuat adanya pemalsuan dokumen,” ujarnya.
Selain itu, Ujang juga menyebut bahwa PT Paragon telah memanfaatkan pabrik tersebut secara ilegal untuk kegiatan operasionalnya. “Gudang pabrik sekarang digunakan untuk menyimpan barang-barang mereka, truk-truk mereka parkir di sana, bahkan para karyawan mereka beraktivitas di dalamnya. Padahal, mereka tidak memiliki hak sah atas pabrik ini,” jelasnya.
Kasus ini bukan hanya berdampak pada Akira Takei sebagai investor, tetapi juga berpotensi merusak citra investasi di Indonesia. Ujang menilai bahwa lemahnya eksekusi hukum dalam kasus ini bisa memberikan sinyal buruk bagi para investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. “Jika hukum bisa diabaikan seperti ini, bagaimana investor bisa merasa aman menanamkan modalnya di sini? Ini jelas merugikan iklim investasi Indonesia,” katanya.
Ia berharap agar pemerintah dan aparat hukum bertindak tegas dalam menegakkan keadilan. Menurutnya, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu agar tidak muncul persepsi bahwa hukum hanya berpihak pada pihak yang memiliki kekuatan finansial dan koneksi kuat.
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula pada tahun 1990 ketika Akira Takei, seorang pengusaha asal Jepang, membeli lahan seluas 4,2 hektare di Jatake, Tangerang, untuk mendirikan perusahaan kayu. Karena statusnya sebagai warga negara asing, kepemilikan tanah diatasnamakan kepada para direktur yang ditunjuknya. Selain membeli lahan, Akira Takei juga menginvestasikan 250 juta yen, termasuk membeli mesin produksi dari Jepang dan Jerman senilai Rp90 miliar.
Namun, dalam enam bulan, perusahaan mengalami kerugian besar akibat kesalahan manajemen. Para direktur yang ditunjuknya kemudian meminjam tambahan dana sebesar Rp31 miliar, yang ironisnya berasal dari Akira Takei sendiri. Meskipun telah mendapatkan suntikan modal, perusahaan tetap gagal beroperasi dengan baik hingga akhirnya terjadi konflik internal.
Akira Takei kemudian menggugat para direktur di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan memenangkan gugatan tersebut. Pengadilan memutuskan bahwa para direktur harus mengembalikan aset perusahaan serta melunasi utang sebesar Rp31 miliar ditambah bunga sejak 1993. Sebagai bagian dari eksekusi putusan pengadilan, aset-aset perusahaan, termasuk pabrik di Jatake, masuk dalam daftar sita eksekusi.
Namun, upaya eksekusi kembali terhambat akibat klaim kepemilikan yang diajukan oleh Cris. Meskipun Cris kalah dalam gugatan perlawanan, pabrik tetap berpindah tangan ke PT Paragon pada tahun berikutnya. Ujang Wartono menilai transaksi ini tidak sesuai dengan prosedur hukum, sehingga sengketa terus berlanjut.
Dengan laporan resmi yang kini telah diajukan ke Polres Tangerang Kota, Ujang berharap kasus ini segera mendapatkan kejelasan hukum. “Saya sudah bersabar bertahun-tahun, tapi sampai sekarang eksekusi masih tertunda. Ini bukan hanya soal satu individu, ini soal keadilan dan kepastian hukum di Indonesia,” pungkasnya. (Red/Rls Begawan Media Center)