DEMOKRASINEWS : Lampung Timur – Terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur yang diduga dilakukan oleh oknum pendamping dari pengurus P2TP2A Lampung Timur dan saat ini kasusnya ditangani Polda Lampung menjadi catatan semua pihak baik Pemerintah Lampung Timur maupun Propinsi Lampung. Sejumlah pihak menyoroti bagaiman pengelolaan anggaran khusus untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sebab dari Ketua lembaga P2TP2A sebagai mitra pemerintah dalam perlindungan anak dan perempuan menyatakan selama ini tidak mendapatkan anggaran khusus.
Menanggapi pernyataan tersebut, Rita Witriati Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat dihubungi tim DemokrasiNews mengatakan, untuk pengurus P2TP2A Lampung Timur memang tidak ada anggaran khusus. Hanya saja mereka selama ada pendampingan jika ada Surat Perintah Tugas (SPT) dari kami Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( P3A) diberikan bantuan transportasi serta akomodasi. Kalau dalam bentuk anggaran besar sebagai operasional dalam bentuk isentif atau honor pengurus memang tidak ada. Di Dinas P3A dari perencanaan anggaran awal memang tidak ada anggaran khusus untuk lembaga P2TP2A. Temen – temen di lembaga P2TP2A mandiri swadaya murni jika ada kegiatan. Dinas kami P3A juga baru berdiri awal Januari 2020. Kalau untuk tahun sebelumnya P2TP2A di Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. Itupun kami tidak mengetahui persoalan anggaran P2TP2A,apakah ada atau tidak, ” jelas Rita.

Rita menambahkan persoalan perlindungan anak dan perempuan memang sangat kompleks. Salah satunya untuk perlindungan korban,sampai saat ini memang kami akui pemerintah Lampung Timur belum memiliki rumah aman yang memadai.
” Kalau dilihat dari grafik kasus yang terjadi seharusnya Lampung Timur sudah memiliki rumah aman yang memadai. Idealnya rumah aman di bangun di sekitar Rumah Sakit Daerah yang dekat dengan pusat pelayanan seperti kepolisian. Sebab hal tersebut untuk memudahkan koordinasi jika korban dibutuhkan untuk keterangan dan pemulihan psikologi,” jelas Rita.

Sementara Johan Abidin salah satu mantan pengurus P2TP2A Lampung Timur bidang pelaksana harian pada tahun 2014 hingga 2016 mengatakan,apa yang disampaikan Maria Ketua P2TP2A Lampung Timur saat ini benar apa adanya. Lembaga P2TP2A dari dulu tidak pernah mendapatkan aloksi anggaran khusus seperti apa yang dituduhkan pihak lain.
” Saya saat melakukan pendampingan waktu itu harus menggunakan mobil sendiri jika korbannya warga Lampung Timur dan kejadiannya di Kabupaten lain. Ironisnya pemerintah justru setengah hati menangani pendampingan dengan dalih tidak ada anggaran,padahal kami sudah maksimal untuk pendampingan dan terpaksa kami harus iuran bersama dengan pengurus lain dalam pemulihan psikologi korban.,” jelas Johan.
Johan menambahkan apa yang disampaikan Kepala Dinas P3A tersebut juga benar. Lampung Timur sangat membutuhkan rumah aman untuk perlindungan korban. Jika korban harus dibawa pulang pendamping kerumah tidak tepat,bagaimana biaya makan, biaya berobat dan biaya lain yang tak terduga,contohnya membelikan pakain, hiburan untuk korban dalam pemulihan psikologi. Semua itu dibutuhkan anggaran dan semua itu tidak ada di lembaga P2TP2A.
” Maka dengan kasus yang terjadi saat ini bukan kita saling menyalahkan antara pemerintah dan lembaga P2TP2A ,justru duduk bareng mencari solusinya. Lampung Timur pada tahun 2018 dan 2019 mendapatkan predikat Kabupaten Layak Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus dikaji ulang. Sudah pantaskah KLA tersebut sebagai prestasi padahal yang terjadi di lapangan masih tinggi grafik kekerasan anak dan perempuan,” tegas Johan.
Tim Redaksi DemokrasiNews










