DEMOKRASINEWS, Lampung Selatan – Eksekusi lahan milik PTPN I Regional 7, yang merupakan bagian dari HGU No. 16 Tahun 1997, berlangsung pada Selasa (31/12/2024) dan menyisakan sejumlah kisah penyesalan dari warga yang sebelumnya menduduki lahan tersebut. Para mantan okupan mengungkapkan kekecewaan mereka setelah mengetahui bahwa mereka terjebak dalam klaim tanah yang dilakukan oleh oknum mafia tanah. Meskipun mereka telah mendirikan rumah dan menggarap lahan, kenyataan pahit itu harus diterima setelah melalui proses hukum yang panjang dan berakhir di Mahkamah Agung, yang memenangkan pihak PTPN I Regional 7.
Salah satu mantan okupan, Suparno (47), asal Mesuji Lampung, mengungkapkan penyesalannya karena merasa tertipu oleh tawaran oknum mafia tanah yang mengklaim lahan tersebut untuk dibagikan kepada warga miskin. “Saya ini nggak nyangka kalau akhirnya jadi begini. Saya tertarik karena dijanjikan tanah murah, hibah negara untuk orang miskin,” kata Suparno. Begitu pula dengan Lensi, mantan pemilik warung makan yang juga terjebak dalam janji palsu terkait sewa tanah garapan dan lahan rumah.
Menurut Lensi, sekitar dua tahun lalu, ia tertarik untuk beralih dari usaha warung makan yang mengalami kebangkrutan dan bergabung dengan tawaran oknum yang mengklaim ada lahan murah untuk digarap. Namun, setelah membayar sejumlah uang, termasuk biaya sporadik tanah dan sewa lahan garapan, Lensi merasa tertipu. “Saya juga bayar sewa lahan garapan Rp8,5 juta setahun, dan setelah dua tahun saya garap, lahan itu diambil kembali,” katanya dengan kesal.
Menyikapi situasi yang terjadi, Kabag. Sekretariat dan Hukum PTPN I Regional 7, Jumiyati, menyatakan pihaknya sangat prihatin dan bersimpati dengan kondisi para mantan okupan yang merasa tertipu. Meskipun demikian, Jumiyati menegaskan bahwa secara hukum, status lahan tersebut sudah sangat jelas dan sah, setelah melalui berbagai proses hukum yang mengikat. “Kami sangat prihatin dan bersimpati kepada para mantan okupan yang merasa tertipu. Namun, kami sarankan untuk dimusyawarahkan dalam upaya mengembalikan hak-hak yang pernah dijanjikan. Jalur hukum menjadi opsi terakhir jika tidak ketemu jalan keluar,” ujar Jumiyati.
Jumiyati juga mengimbau agar semua pihak, termasuk mantan okupan, menggunakan jalur formal yang diatur undang-undang untuk memperjuangkan hak-hak mereka terkait kekecewaan ini. Meski demikian, ia menilai musyawarah dan mufakat adalah pendekatan terbaik yang dapat ditempuh untuk mencapai penyelesaian yang damai dan saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. “Penyelesaian masalah ini dengan musyawarah adalah langkah yang lebih baik daripada memperburuk keadaan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan hukum,” tambahnya.
Selain itu, Jumiyati juga berharap agar kehadiran aparat keamanan dan pemerintahan dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, mengingat potensi gesekan sosial yang dapat timbul akibat ketegangan antara okupan dan pihak perusahaan. Ia mengingatkan bahwa secara psikologis, situasi yang berkembang ini berpotensi meretakkan persatuan dan kebersamaan di kalangan warga. “Kami terus berada di tengah-tengah mereka untuk memberi dukungan moral dan sedikit membantu secara kemanusiaan. Terima kasih kepada aparat kepolisian, aparat pemerintahan, dan tokoh masyarakat yang juga terus hadir di tengah situasi ini. Mari kita jaga kebersamaan dengan tetap patuh kepada hukum yang berlaku,” kata Jumiyati dengan penuh harapan.
Di sisi lain, situasi di lapangan kini juga dipantau oleh berbagai elemen masyarakat dan organisasi. Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII, yang merupakan organisasi karyawan PTPN I Regional 7, mengutus belasan aktivis untuk membantu proses pengosongan lahan dan memastikan tidak ada penolakan dari oknum-oknum warga yang masih bertahan di lokasi. Mereka juga ikut mengawasi agar proses berjalan dengan lancar dan tanpa kericuhan.
Selain itu, Forum Komunikasi Putra-Putri Indonesia Bersatu (FKPPIB), yang terdiri dari anak-anak karyawan BUMN, turut memantau perkembangan situasi di lapangan. FKPPIB mengantisipasi kemungkinan adanya provokasi dari sejumlah oknum yang masih merasa dirugikan dan berpotensi mengganggu ketertiban. “Kami siap mengantisipasi dan menjaga ketertiban agar tidak ada yang memperburuk keadaan, sekaligus memberikan pemahaman kepada warga mengenai situasi yang ada,” ujar seorang perwakilan FKPPIB.
Dalam proses eksekusi ini, PTPN I Regional 7 tetap berkomitmen untuk menjaga ketertiban dan keamanan, serta mendukung proses penyelesaian secara damai melalui pendekatan yang mengutamakan musyawarah. Perusahaan juga berharap agar masyarakat tetap menghormati hukum yang berlaku untuk menciptakan situasi yang kondusif dan mendukung kebersamaan dalam membangun wilayah yang lebih baik. (Red/Rls)










