DEMOKRASINEWS, Kepulauan Seribu – Guna memenuhi target dan kebutuhan masyarakat terkait Bahan Bakar Minyak ( BBM) dan Gas Bumi (Migas), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan PT. Harpindo di Lampung kesulitan melakukan eksplorasi pengeboran minyak bumi dan gas di wilayah Kecamatan Way Pengubuan, Lampung Tengah. Persoalan tak lain masih terkendala pembebasan lahan.
Persoalan tersebut, terungkap saat acara Media Gathering PT. Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES) bersama wartawan dengan tema “Sinergi adalah Energi” di Pantai Pantara, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, Selasa (25/07/2023).
Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Sumbagsel, Safe’i Syafri menjelaskan, sering kali masyarakat kurang mengerti dan salah kaprah terkait kehadiran bisnis industri migas di Indonesia. Salah satunya terkait pembebasan lahan milik warga yang berada di sumber migas dan sekitarnya. Tak jarang warga mematok harga tinggi sesuai keinginannya. Padahal kegiatan usaha migas sebagai kategori kepentingan umum.
Selanjutnya dalam mencari lokasi-lokasi sumur baru tentu akan dilakukan kegiatan seismik dan eksplorasi dengan melibatkan lembaga penilai bersifat independen untuk menghitung nilai tanah milik warga, ” tegas Safe’i Syafri.
Safe’i mengatakan, dalam eksplorasi ini rata-rata kegiatannya di darat, maka dipastikan akan menggunakan lahan atau tanah. Baik itu di dalam kawasan hutan maupun kawasan lainnya. Apa pesan yang ingin kami sampaikan. Ketika masyarakat mendengar bahwa ada tanahnya ingin dibebaskan untuk kegiatan eksplorasi, untuk melakukan kegiatan sumur membutuhkan lahan dan akses pemahaman masyarakat selama ini bahwa harga tanah pasti tinggi.
“Dengan ini menjadi hal yang ingin saya sampaikan kepentingan Migas adalah masuk kategori kepentingan umum. Seringkali karena sudah masuk di dalam kepentingan umum, suka tidak suka, mau tidak mau untuk menilai harga tanah yang akan digunakan untuk kegiatan eksplorasi itu harus dilakukan penilai oleh lembaga independen,” jelasnya.
Permintaan tingginya ganti rugi oleh pemilik lahan terkadang hanya melihat bahwa pembelinya adalah perusahaan migas PT. Pertamina. Seharusnya masyarakat harus memahami kegiatan perusahaan migas adalah untuk kepentingan umum.
Imbas lambatnya proses ganti rugi lahan, semua terdampak, mulai dari tertundanya eksplorasi, bertambahnya biaya sampai yang paling penting adalah menghambat kebutuhan nasional akan minyak dan gas.
Maka daripada itu, melalui Media Gethring bersama wartawan PWI Lampung ini, saya jelaskan membutuhkan peran aktif insan pers dalam memberikan pemahaman terkait di atas kepada masyarakat lewat tulisan berita yang baik dan sesuai fakta.
“Dalam persoalan ini yang timbul adalah di mata masyarakat atau para pemilik lahan, harganya harus mahal karena yang beli perusahaan Migas, sehingga mereka menolak untuk kegiatan daripada melepaskan hak atas tanah tersebut. Padahal harga yang ditentukan sudah sesuai harga tanah dari penilaian tim independen.
“Ketika hal ini terjadi dampaknya adalah bagaimana PT. Pertamina ingin mencapai target, ketika terkendala dengan persoalan tersebut. Kalau tetap dilaksanakan harga (yang diminta) masyarakat, maka akan menjadi temuan dari KPK, karena merusak terkait tatanan harga jual beli tanah untuk kepentingan umum masyarakat.”
“Kegiatan operasi PT. Pertamina menjadi delay, dampaknya akan besar ke depannya, karena cost operation daripada perusahaan itu menjadi juga membengkak. Inilah salah satu hal yang menjadi harapan kami kepada rekan-rekan media, bahwa agar hal ini bisa disampaikan kepada masyarakat, karena kalau ini menjadi terhambat target tidak akan tercapai,” pungkas Safe’i Syafri mengakhiri pemaparannya terkait migas. ( Pri/Red)