DEMOKRASINEWS, Tangerang – Sengketa kepemilikan pabrik di Kawasan Industri Jatake, Tangerang, kembali menjadi sorotan setelah muncul dugaan penipuan, pemalsuan dokumen, serta penguasaan aset yang bertentangan dengan putusan pengadilan. Kasus ini menyeret nama Akira Takei, seorang pengusaha asal Jepang yang telah berinvestasi di sektor industri kayu.
Kuasa hukum Akira Takei, Ujang Wartono, S.H., M.H., mengungkap bahwa kliennya mengalami ketidakpastian hukum setelah asetnya dikuasai pihak ketiga secara ilegal, meskipun putusan pengadilan telah berkekuatan tetap. “Kejadian ini menjadi contoh nyata bagaimana investor asing dapat kehilangan aset mereka akibat lemahnya perlindungan hukum dan ketidaktegasan aparat dalam menegakkan keadilan,” ujar Ujang.
Kasus ini bermula pada 1990, saat Akira Takei membeli lahan seluas 4,2 hektar di Kawasan Industri Jatake untuk mendirikan perusahaan kayu. Ia menunjuk beberapa direktur untuk mengelola operasional perusahaan, namun dalam enam bulan, bisnis tersebut mengalami kegagalan akibat pengelolaan yang buruk. Selain mengalami kerugian, Takei juga harus menanggung utang yang dibuat oleh para direktur tersebut.

“Para direktur itu mengajukan permohonan pinjaman, tapi yang meminjamkan itu sebenarnya Akira Takei sendiri. Dikasihlah modal 90 miliar rupiah yang kemudian digunakan untuk membeli mesin-mesin produksi di Jerman dan Jepang. Namun, bisnis tetap tidak berjalan dan akhirnya berujung pada gugat-menggugat,” jelas Ujang.
Setelah melalui berbagai tahapan hukum, Mahkamah Agung akhirnya memenangkan gugatan Takei dalam putusan No. 3295 K/PDT/1996. Putusan tersebut mewajibkan para direktur mengembalikan aset perusahaan, termasuk pabrik dan empat unit rumah, yang kemudian harus dilelang untuk menutupi utang sebesar Rp31 miliar ditambah bunga sejak 1993.
Namun, proses eksekusi terganjal oleh klaim dari pihak ketiga yang mengaku sebagai pemilik sah pabrik tersebut. Persoalan semakin rumit ketika seorang pria bernama Cristianto Noviadji Jhohan atau Cris mengklaim telah membeli pabrik dari Akira Takei. Namun, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, klaim tersebut tidak terbukti.
“Dia mengaku membeli dari Akira Takei, padahal tidak. Perjanjian jual beli tidak ada, penerimaan uang juga tidak ada, kuitansi pun tidak ada,” tegas Ujang.
Gugatan yang diajukan Cris pun ditolak oleh pengadilan melalui putusan No. 341/Pdt.Plw/2017/PN.Tng. Namun, pada 2019, Cris justru menjual pabrik tersebut kepada perusahaan swasta nasional, Paragon, meskipun aset tersebut masih berstatus sita eksekusi dan seharusnya tidak dapat dipindahtangankan tanpa prosedur hukum yang sah.
Situasi ini terungkap saat dilakukan konstatering, yaitu pencatatan fakta lapangan oleh pengadilan berdasarkan pemeriksaan langsung. Konstatering ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari Penetapan No. 03/DEL/2017/PN.TNG Jo No. 70/PDT.G/1993/PN.JKT.SEL, dan turut disaksikan oleh aparat kepolisian, Koramil, serta perwakilan dari kecamatan dan kelurahan setempat.
Namun, ketika eksekusi hendak dijalankan, pihak Paragon mengklaim telah membeli pabrik tersebut secara sah. Meski begitu, mereka tidak dapat menunjukkan dokumen kepemilikan yang valid. Lebih mencurigakan lagi, sertifikat hak milik (SHM) atas tanah tersebut berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB), yang secara hukum seharusnya tidak bisa terjadi tanpa proses yang jelas.
“Masak hak milik kok jadi hak guna bangunan? Ini janggal. Kalau beli, harusnya SHM yang dibeli, bukan HGB,” kata Ujang Wartono.
Ujang menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya sengketa bisnis antara dua pihak, tetapi juga mencerminkan masalah lebih besar dalam dunia investasi di Indonesia. Lemahnya eksekusi putusan pengadilan dapat menurunkan kepercayaan investor asing terhadap sistem hukum di Indonesia.
Menurutnya, kepastian hukum adalah faktor utama dalam menentukan apakah suatu negara layak menjadi tujuan investasi atau tidak. Jika hukum tidak ditegakkan dengan baik, maka risiko investasi menjadi lebih tinggi, dan hal ini dapat membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
“Kalau praktik seperti ini dibiarkan, siapa lagi yang mau berinvestasi di sini? Ini merugikan bukan hanya Akira Takei, tapi juga iklim investasi Indonesia secara keseluruhan,” ujarnya.
Sebagai langkah lanjutan, Ujang Wartono menegaskan akan terus memperjuangkan hak-hak kliennya melalui jalur hukum. Ia berencana mengajukan gugatan terhadap sejumlah pihak terkait atas dasar perbuatan melawan hukum serta melaporkan dugaan penipuan, pemalsuan dokumen, dan perusakan aset ke pihak kepolisian.
“Tindakan saya berikutnya akan ada dua langkah hukum, pidana dan perdata. Kalau pihak-pihak terkait kasus ini masih berkeras seperti sekarang, maka kami akan menempuh jalur hukum,” tegasnya. (Red/Rls Begawan Media Center)











